Guru vs. Gen Z (Bagian 1): Si Boundary-Less Generation di Era Ledakan Internet

Generasi Z atau biasanya disebut dengan gen Z ini merupakan generasi yang lahir pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2009. Gen Z ini diyakini akan memberikan kontribusi besar pada  perkembangan perekonomian negara Indonesia. Bagaimana tidak, generasi ini dijuluki sebagai generasi tanpa batas (boundary-less generation) yang mampu lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan yang semakin dinamis ini. Kefasihan mereka akan teknologi membuat gen Z terus tanggap terhadap perubahan teknologi. 

Gen Z berupaya memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan teknologi, tanpa teknologi hidup mereka terasa hampa bahkan menjadi bermasalah. Media sosial merupakan makanan mereka sehari-hari. Fakta menunjukkan bahwa gen Z merupakan generasi terbanyak dalam penggunaan media sosial, hal ini berpengaruh terhadap pola interaksi yang terbentuk dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dimanjakan dengan kecanggihan teknologi yang serba mudah sehingga akan cenderung asik dengan dunia maya daripada dunia nyata yang hanya fokus pada penggunaan gadget. Hal ini menjadi penyebab kurangnya keterampilan personal yang mereka miliki dan kurang bisa bersaing di dunia kerja. Dampak seriusnya akan terjadi hilangnya konsentrasi diri, hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki identitas atau self image yang mumpuni. Bisa dilihat dari mayoritas jawaban mereka ketika ditanya, mau jadi apa, cita-citamu apa? Mayoritas dari gen Z menjawab, mau jadi orang kaya. Secara universal mereka akan menjawab hal demikian tanpa adanya spesifikasi profesi yang diimpikan.

Ditambah lagi ada fenomena sebagai berikut:

Anak-anak jaman sekarang kalau jalan berpapasan dengan gurunya, malah melengos dan cenderung pura-pura tidak tahu

Pasti pernah mendengar dari beberapa curhat colongan guru-guru di sekolah. Jelas ini sebuah fakta yang tidak dapat dielakkan, karena pasti ada pola guru yang membandingkan dengan generasi sebelumnya. Nah kira-kira mengapa demikian? Mari kita simak penjelasan berikut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Don Tapscott menyimpulkan ada beberapa kategori generasi seperti yang terdapat pada tabel berikut:

Tabel: Pembagian kategori demografi berdasarkan generasi

Berdasarkan hasil klasifikasi di atas maka penciptaan dan pengembangan media pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan  atau  karakteristik  peserta  didik tentunya sesuai dengan generasinya. Lalu bagaimana menanggapi permasalahan tersebut (permasalahan siswa cenderung tidak peduli dengan keberadaan gurunya ketika bertemu di jalan dan sebagainya)?

Alasan logis yang bisa diterima dari hal tersebut yaitu guru harus sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan gen Z yang notabene lahir pada saat ledakan internet sedangkan peserta didik sebelumnya belum merasakan adanya kecanggihan internet seperti sekarang ini. Jelas ini adanya perbedaan yang cukup signifikan baik secara sifat, sikap dan karakteristik dari masing-masing generasi, jadi tidak perlu berlarut-larut untuk terus membandingkan. 

Sebagai pengajar kita harus fokus terhadap fenomena unik yang dimiliki gen Z. Gen Z merupakan generasi yang mudah speak up - strike to the point dan multitasking. Hal ini akan mempermudah guru dalam pembelajaran karena peserta didik (gen Z) akan cenderung lebih cepat memproses informasi dalam waktu yang sama. Peserta didik lebih mampu untuk mengekspor pembelajaran menjadi lebih konkret. Konsekuensi dari ledakan internet ini menciptakan manusia-manusia kreatif, seperti munculnya konten kreator di platform youtube maupun lainnya yang bisa menghasilkan uang. Tidak hanya itu banyak prestasi yang ditorehkan oleh generasi yang terbilang muda ini. Maka dari itu guru dituntut untuk selalu survive di era digital, update dan upgrade terhadap perkembangan serta menanamkan nilai-nilai karakter sebagai senjata dalam penumbuhan karakter pancasila yang mencakup dimensi spiritual, moral, sosial, dan kebangsaan.

Jangan sampai ada celah antara guru dan peserta didik hanya karena permasalahan perbedaan generasi. Peserta didik yang melek teknologi harus diimbangi dengan pendidik yang melek teknologi pula. Guru dan peserta didik harus saling bersinergi dalam pembelajaran, baik keduanya harus saling open minded. Guru tidak dibenarkan bersikap skeptis terhadap hal positif yang dilakukan siswa peserta didik. Pun peserta didik tidak dibenarkan merasa mandiri (tidak membutuhkan guru), google atau AI hanya sumber belajar tambahan yang masih diperlukan verifikasi kembali kebenarannya, peserta didik dan guru harus saling mengisi dan menginspirasi dalam pembelajaran. Sehingga pembelajaran berlangsung dengan baik dan menyenangkan. Tidak terkesan menggurui dan digurui namun saling sharing informasi. 

Perlu diingat bahkan gen Z ini merupakan generasi yang susah ditebak, si strawberry generation yang mudah koyak, rapuh, dan manja. Meskipun mereka merupakan generasi yang melek teknologi, kreatif, kritis, rasa ingin tahu tinggi yang cenderung mandiri, namun peran orang tua juga sangat diperlukan dalam penerapan pola didik keluarga yang baik dan benar. Tidakkah dibenarkan pola didik keluarga yang terlalu memanjakan dengan fasilitas yang luar biasa tanpa mengontrol sikap dan tanggung jawab anak. Maka dari itu antara lembaga pendidikan dan keluarga saling bersinergi dalam melakukan parenting yang baik. Bagaimanapun canggihnya teknologi yang kian lama semakin berkembang, tetap saja ini tidak akan bisa mengantikan peran penting dari sekolah. Sekolah memiliki peran krusial yaitu berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan penerapan nilai-nilai tata krama dan kehidupan sosial yang baik, hal ini tidak akan dijumpai pada pendidikan secara daring.



Dewi Tinjung Sari
• Education • Authorship • Lifestyle • Seorang pebelajar yang memiliki hobi menulis. Penawaran kerjasama dan sejenisnya bisa menghubungi saya pada halaman contact. Terima Kasih.
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar